Rokok

isapan yang membanggakan

Menara Kudus

Cagar kesenian islami kudus

Pendopo Kudus

Tempat singgah pejabat kretek

Makam Sunan Kudus

Wisata religius di kota kudus

Air Terjun Montel

Nikmati pemandangan dan kesegaran alami di sini

2013/06/13

Puisi Cinta Budaya



Pelestarian budaya

Budaya ada dari masa ke masa
Tak tahu siapa penciptanya, yang pasti ada
Kita hanya diperintah untuk lestarikannya
Agar tidak punah dan hilang begitu saja
Supaya kelak anak cucu kita dapat nikmatinya
Lebih-lebih kita dapat kembangkannya
                Tapi hal itu hanya angan belaka
                Budaya asing yang mempengaruhi kita
                Menjadi musuh nyata bagi budaya kita
                Sulit budaya kita menang lawan budaya mereka
Kita kagum akan budaya mereka
Mereka kagum budaya kita
Saat kita kagum budaya mereka
Mereka menggali budaya kita
Mengakui budaya kita budaya mereka
                Kita yang tak tahu budaya itu budaya kita
                Warisan nenek moyang pribumi Indonesia
                Mau saja ditipu daya
                Kalau budaya itu karya cipta mereka
Jika kita tak ingin disebut manusia tak berbudaya
Tak berbudi dan berdaya
Bahkan budaya kita dirongrong mereka
Habis tak tersisa apa-apa
Yang tinggal hanya sesal dan duka
                Mari kita lestarikan budaya yang ada
                Budaya lama jaga keasliannya
                Ajak semua anak bangsa
                Pengaruhi warga dunia
                Guna berpartisipasi lestarikan budaya

Cerpen Asli Kudus



Memoar Sang Dinda di Bumi Kretek

Semua berawal saat aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota Kudus. Meninggalkan ibuku sebatang kara di Ibu Kota. Tepatnya di sebuah rumah kontrakan yang sempit dan senyap. Atas amanah dari ibuku aku bersedia tholabul ilmi di kota Kretek ini. Aku pun tak tahu mengapa ibu memilih kota Santri ini sebagai pilihan untukku mengadu nasib di masa putih abu-abu ini. Dari beberapa SMA yang ibu tawarkan untukku, aku memilih SMA 1 Kojan yang merupakan salah satu SMA unggulan di Kudus. Namun, uang per bulan yang dikenakan bagi siswa-siswinya lebih terjangkau daripada biaya sekolah di SMA unggulan yang ada di ibu kota.
***
Pagi yang cerah ini tak secerah wajahku. Setelah aku melunasi seluruh biaya daftar ulang di SMA 1 Kojan, aku kebingungan untuk mencari tempat tinggal di kota ini. Kota yang belum pernah sama sekali aku jamah. Tanpa arah dan tujuan yang jelas, aku melangkah menyusuri trotoar jalanan yang sebelumnya tak pernah ku lewati. Sambil melihat panorama yang asing ini, sesekali kedua mataku melirik pada pamflet-pamflet yang di tempel di bangunan-bangunan tua yang tak bertuan, mungkin saja ada yang menawarkan tempat kost di dekat sini.
`Di tengah perjalanan panjang yang tak pernah ku tahu kapan usainya dan di mana aku akan menemukan tempat persinggahanku di kota kecil ini, aku melihat seorang nenek berdiri di pinggir jalan. Aku merasakan bahwa nenek itu ingin menyebrang, tapi tak punya nyali untuk berjalan. Melihat gemuruh suara kendaraan yang lalu lalang saja ketakutan, apalagi menyebrang. Dan seketika itu, aku bergegas menghampirinya meski tak ku kenal siapa nenek itu. Dengan sigap dan hati-hati aku membantu nenek itu menyebrang jalan.
Matur nuwun ya cah ayu, jenengmu sopo?
“Maaf nek, jenengmu itu siapa ya nek?” tanyaku penasaran.
“Oalah, maaf ya cantik. Panggil saya Simbah saja ya. Jeneng itu maksudnya nama kamu siapa?”
“Oh nama thow nek. Eh Simbah maksudnya. Kenalkan nama saya Adinda Dwi Lestari, saya dari Jakarta Mbah.”
 Nok Dinda mau ke mana? Kalau tidak keberatan, ayo mapir ke rumah Simbah!”
Aku hanya mengangguk, daripada aku berjalan sendirian tanpa tujuan yang jelas lebih baik aku ikut simbah pulang. Mudah-mudahan Simbah mau menampungku sehari dua hari di rumahnya.
***
Di tengah perjalanan menuju rumah Simbah. Kita berdua saling bercakap-cakap.
Nok Dinda, kamu punya kakak ya?”
“Nggak”
“Lhow kok bisa, adinda itu kan artinya adik. Nah, kalau dwi itu artinya anak kedua.”
“Entahlah, ibu saya tak pernah cerita kalau aku punya saudara mbah.”
Tak terasa rumah simbah sudah di depan pelupuk mata. Awalnya aku heran dengan bentuk rumah simbah yang ada di desa Langgar Dalem ini. Rumahnya hanya terdiri dari satu pintu tanpa jendela dan selebihnya hanya tembok-tembok besar, ditambah lagi tidak ada terasnya.
“Mari masuk nok!”
Simbah mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya. Dan alangkah terkejutnya aku saat melihat bagian dalam rumah simbah. Ternyat pintu yang ku lewati tadi hanya sebuah pagar pembatas dari kawasan sebuah istana tempat simbah tinggal. Aku membuntuti Simbah menuju sebuah rumah yang terlihat unik dan gagah. Dari pandang pertama aku sudah bisa memastikan kalau rumah itu bukan sembarang rumah. Aku lihat atapnya menjulang tinggi seperti gunung atau bisa diibaratkan rumah itu raja yang berwibawa sedang memakai mahkota keagungannya.
“Simbah ini rumah siapa?” tanyaku takjub.
“Oalah, ini rumahnya Simbah thow nok. Kalau orang sekitar sini nyebutnya omah pencu, yang punya rumah seperti ini ya cuma orang Kudus.”
“Wow eksotis banget.”
“Mari masuk dulu.”
Tiba di teras rumah aku disambut oleh seorang gadis cantik jelita yang berdiri di depan daun pintu. Subhanallah, gadis itu seperti putri di kerajaan dongeng yang senantiasa memancarkan keanggunannya dengan jilbab putih yang ia pakai.
Assalamu’alaikum.” Simbah mengucap salam.
Wa’alaikum salam, Simbah sampun wangsul thow.” gadis itu menjawabnya.
“Ia nok. Kenalkan ini nok Dinda dari Jakarta. Dia belum bisa guneman Jawa. Jadi menyesuaikan aja ya? kayak simbah.”
Gadis itu hanya menganggukkan kepala dan menyuggingkan senyum kepadaku. Simbah masuk kedalam rumah meninggalkan kita berdua.
Hai Dinda, salam kenal ya. Namaku Lailia Umami.”
“Oh iya mbak Lia, kamu sekolah di SMA 1 Kojan juga ya?”
“Iya kok kamu tahu sich?”
“Iya, tadi simbah yang cerita. Aku siswi baru di situ mbak.”
“Oh begitu, kalau aku sekarang kelas XII Dinda. Tapi kita masih bisa ketemu di sekolahan kok.”
“Tapi mbak, di Kudus aku belum dapat tempat kost.”
“Oh tenang, kamu tinggal saja di rumahku. Lagian di rumah aku juga kesepian.”
“saya sich terserah mbak saja. Tapi simbah gimana?”
“Iya nanti biar saya yang ngomong sama abah, umi dann simbah.”
Sikap mbak Lia yang hangat dan akrab membuatku tak bosan untuk berbincang dengannya. Hingga umi dan abahnya pulang mbak Lia menyambut mereka dengan mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Dengan senyum manisnya, ia memohon agar aku boleh tinggal di sini, sebelum akhirnya umi dan abahnya benar-benar memperbolehkan aku tinggal di sini. Tapi sebelumnya umi berpesan padaku agar aku mulai terbiasa memakai jilbab. Katanya agar terlihat lebih cantik atau bahasa gaulnya inner beauty.
***
Jarum jam terus berputar. Hari berganti hari, minggu berganti bulan. Tapi, kebahagiaan itu tak pernah sirna selama aku berada di kota Kretek ini. Mbak Lia selalu mengajakku jalan-jalan keliling kota Kudus setiap akhir pekan. Mbak Lia tak pernah absen untuk mengajakku berpariwisata mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Pekan pertama dia mengajakku ziarah ke makam Syekh Ja’far Shoddiq yang akrab disebut mbah Sunan Kudus. Tampak sebuah menara klasik berdiri megah sebelum memasuki makam mbah Sunan Kudus. Sempat aku mempertanyakan masalah bentuk menara Kudus dan gapuranya yang tidak lain seperti candi-candi agama Hindu. Dan ternyata, ini merupakan siasat mbah Sunan Kudus dalam menyiarkan agama Islam di kota santri ini. Kono katanya, penduduk di kawasan tersebut dulunya beragama Hindu. Sehingga mbah Sunan Kudus memadukan antara budaya dan kepercayaan setempat dengan misi dakwahnya. Sampai-sampai beliau melarang menyembelih lembu.
***
Kalau bercerita tentang suasana di SMA 1 Kojan. Teman-temanku cukup ramah. Tak seperti teman-temanku di Jakarta yang notabennya dari kalangan elit dan cuek-cuek dengan kaum jelata yang tak se-level. Sebagai aktifis sekolah yang giat mengikuti kegiataan ekstra di dalam maupun luar sekolah, aku cukup bangga karena baru satu semester aku sekolah di sini, aku sudah ditunjuk untuk mewakili sekolah di kompetisi RRG (Roger Ranger Guide) alias Lomba Pemandu Wisata yang diadakaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus dan bertempat di Gedung Ngasirah. Rumitnya, aku harus memperkaya refrensi tentang kebudayaan dan pariwisata di kota Kudus. Dan yang jelas Simbah dan mbak Lia jadi tutor sekaligus narasumber dalam objek kajian ini. Simbah memberikanku pengarahan untuk menceritakan tradisi dandangan.
Setiap menjelang bulan Puasa, kota Kudus memiliki tradisi yang oleh warga setempat dinamakan dandangan.  Lokasi dandangan berpusat di jalan Menara Kudus membentang ke jalan-jalan di sekitarnya. Konon, tradisi dandangan ini awalnya dilakukan untuk mendengar suara bedug di Masjid Menara Kudus yang konon kabarnya dapat berbunyi sendiri (tanpa dipukul) saat menjelang Ramadhan. Asal-muasal nama Dandangan berasal dari suara bedug tersebut.
Hari yang ku tunggu kini telah tiba. Saatnya unjuk gigi, mengadu argumen dan kemampuan menjadi guide sejati. Aku mendapat giliran terakhir untuk mempresentasikan salah satu tradisi budaya dan pariwisata yang ada di Kudus. Rasa tegang dan demam panggung membaur menjadi satu. Tapi optimis untuk menjadi juaranya. Namun, ada satu peserta yang membuat semua audience terpukau, termasuk diriku. Namanya Arfa Haqqil Azmi, dari SMA 3 Telingsing. Namun sejatinya dia adalah saingan terberatku dari kompetisi ini dan setelah ini aku harus menunjukkan bahwa kali ini aku akan menjadi yang terbaik.
Satu per satu peserta telah menunjukkan kemampuannya, begitu pula aku. Dan saat yang ditunggu-tunggu telah tiba. Waktunya pengumuman juara Rover Ranger of Kudus City. Dag dig dug jantungku berdebar kencang. Aku terus berharap untuk menjadi juara. Namun ternyata dugaanku meleset. Bersyukur tapi kecewa, cukuplah sudah aku menjadi runner up pertama. Dan juara pertama diraih oleh Arfa Haqqil Azmi dari SMA 3 Telingsing, pesaing yang sebelumnya memang aku segani.
Senja beriringan dengan langit gelap kelabu. Rintik hujan menetes dan membasahi muka bumi. Bersama dengan itu rasa bahagia, bangga, puas dan kecewa membaur menjadi satu dalam lamunan panjang di depan gedung Ngasirah ini. Menunggu mbak lia menjemputku yang tengah berbahagia. Tiba-tiba lamunanku di buyarkan oleh suara klakson motor yang berbunyi kencang. Segerombolan pemuda berpakaian abu-abu melintas di depanku dan salah satu dari mereka adalah Arfa bersama teman-temannya. Tak lupa mereka meneriakkan kata selamat untukku. Namun tidak dengan si Arfa yang enggan mengucapkan sepatah kata untukku. Tapi, ini sungguh luar biasa. Sekejap namun berarti di hidupku. Sebuah kehangatan yang tak pernah ku dapat sebelumnya. Arfa mempersembahkan sebuah senyuman manis untukku seraya menganggukkan kepala. Ingatanku kembali berlayar menuju pulau khayalan yang tak pernah ku tahu sebelumnya. Diiringi simfoni hujan yang lembut dan menghanyutkan suasana berbunga-bunga di hati. Rasanya aku ingin melayang-layang dan menari di atas awan, lalu merluncur dari ujung pelangi senja. Dan apakah ini yang dinamakan sentuhan cinta?
“Dinda”
Suara itu menghancurkan imajinasiku. Ternyata itu mbak lia yang dating menjemputku.
“ech mbak Lia, kirain siapa. Ayo mbak kita pulang.”
“ayo, ngomong-ngomong gimana tadi lombanya?”
“Alhamdulillah mbak dapat juara dua.”
“Syukurlah, perjuanganmu tidak sia-sia selama ini. Show your talent Dinda. Jangan berhenti memperkaya nok.”
“Oke mbak, siiip.”
Aku pulang ke rumah dan mengakhiri hari ini dengan penuh rasa capek.
Di pagi buta ini, ku rajut sebuah puisi
Kisah terakhirku di bumi kretek
Dalam rindu yang merajai hati
Tak henti diriku mengagumi
Kerlingan mata di musim senja ini
Wahai kau ksatria sejati
Detik itu tak ingin ku akhiri
Semoga kita bertemu kembali
            Pagi ini, aku pergi ke Jakarta untuk menengok ibu. Aku kangen sama ibu. Aku naik bus jurusan Kudus-Jakarta. Sesampainya aku di kota metropolitan itu, aku bergegas meluncur ke daerah kampung rambutan, tempat ibuku tinggal. Memasuki rumah dengan lantunan salam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.” Nampak tak hanya satu orang yang menjawab salamku.
Bergegas aku memasuki ruang tamu. Nampak seorang pria separuh baya dan laki-laki seusiaku yang sudah tidak asing bagiku. Ya, dia itu Arfa. Kenapa dia ada di rumah ibu? Mungkinkah puisiku telah terbaca olehnya. Tapi mustahil, puisiku kan ada di buku harianku. Mana mungkin melayang terbang sendiri menghampiri Arfa.
“Wach kebetulan kamu pulang nak. Kenalkan ini Pak De Ahmad dan di sampingnya itu kakak kandung kamu. Namanya Arfa.”
“Kakak kandung? Memangnya aku punya saudara? Kenapa ibu tak pernah bilang?”
Ibu hanya menganggukkan kepala. Rasanya hatiku seperti ditusuk-tusuk. Kaget, cemas, terkejut dan panik membaur jadi satu dalam pikiranku. Kenapa hasrat cintaku padamu kini harus bermetafora menjadi rasa kasih antara Adinda dan Kakanda. Padahal aku telah menyimpan perasaan yang amat dalam di lubuk hatiku, bukan hanya sekedar seorang saudara. Haruskah aku relakan rasa ini terbuang sia-sia. Beribu pertanyaan untuk dunia ini. Dari sekian juta umat manusia yang ada, mengapa harus engkau yang ku cinta? Dan mengapa harus engkau pula Kakanda yang dinanti Adinda.

Kudus Green City



Kudus Green City

Green city merupakan konsep perencanaan kota yang diterapkan sebagai respon terhadap degradasi lingkungan kota. Bagaimana kota tersebut dapat direncanakan kembali dan ditata ulang menjadi kota yang sehat, atau secara ekologis tidak seperti kota-kota besar di dunia saat ini yang sedang menghadapi permasalahan lingkungan. Konsep kota hijau atau yang sering disebut dengan green city tampaknya mudah direncanakan namun belum tentu bisa diterapkan. Dalam menerapkan green city dibutuhkan niat baik (goodwill) dari semua masyarakat, terutama pemerintah kota, masyarakat kota serta semua pihak yang bergerak disektor ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan. Walaupun demikian, sedikit demi sedikit kita harus mulai melakukannya, mewujudkan kota-kota di Indonesia menjadi kota yang menyatakan dirinya sebagai kota hijau.
Sampai saat ini masih terdapat dua persepsi tentang terminologi kota hijau. Ada yang mengatakan kota hijau sebagai visi menghijaukan kota-kota dengan menanam banyak tanaman dan tumbuhan dengan membuat taman-taman. Di lain pihak ada yang mempersepsikan kota hijau sebagai kota yang sehat dan hampir bebas dari emisi karbondioksida (CO2), karbon monoksida (CO) dan oksida nitrogen (NO2)
Secara konseptual, green city yang kita harapkan di Indonesia adalah kota yang bukan semata-mata memiliki ruang terbuka (RTH) yang mencukupi, tetapi kota yang dapat memanfaatkan serta menggunakan energi yang hemat dan berkelanjutan. Salah satunya teknologi daur ulang (recycle) terhadap semua sumberdaya yang ada.
Selain itu masyarakat harus mengetahui cara memanfaatkan energi, sinar matahari, udara dan air untuk mewujudkan taman kota dan penghijauan kota. Pemerintah selayaknya mulai memikirkan untuk melaksanakan pembangunan proyek pusat-pusat kota yang bebas dari kendaraan bermotor, penggunaan ruang bersama dan seimbang yang dapat mewakili perubahan penggunaan lahan dan arsitektur menuju arah yang lebih baik.
Pembuatan taman dan penataan kembali taman-taman umum mulai dari taman berskala ketetanggan (neighbourhooq parks), taman lingkungan (community parks) sampai dengan taman-taman kota (city parks) sebagai salah satu usaha penggalangan ketersediaan ruang terbuka hijau. Hal ini merupakan salah satu bagian dari mewujudkan kota hijau.