Memoar
Sang Dinda di
Bumi Kretek
Semua
berawal saat aku menginjakkan kaki untuk pertama
kalinya di kota Kudus.
Meninggalkan ibuku sebatang kara di Ibu Kota. Tepatnya di sebuah rumah kontrakan
yang sempit dan senyap. Atas amanah dari ibuku aku bersedia tholabul ilmi di kota Kretek
ini. Aku pun tak
tahu mengapa ibu memilih kota Santri
ini sebagai pilihan untukku mengadu nasib di masa putih abu-abu ini. Dari
beberapa SMA yang ibu tawarkan untukku, aku memilih SMA 1 Kojan yang merupakan
salah satu SMA unggulan di Kudus. Namun, uang per bulan yang dikenakan bagi
siswa-siswinya lebih terjangkau daripada biaya sekolah di SMA unggulan yang ada
di ibu kota.
***
Pagi
yang cerah ini tak secerah wajahku. Setelah aku melunasi seluruh biaya daftar
ulang di SMA 1 Kojan, aku kebingungan untuk mencari tempat tinggal di kota ini.
Kota yang belum pernah sama sekali aku jamah. Tanpa arah dan tujuan yang jelas,
aku melangkah menyusuri trotoar jalanan yang sebelumnya tak pernah ku lewati.
Sambil melihat panorama yang asing ini, sesekali kedua mataku melirik pada
pamflet-pamflet yang di tempel di bangunan-bangunan tua yang tak bertuan,
mungkin saja ada yang menawarkan tempat kost di dekat sini.
`Di
tengah perjalanan panjang yang tak pernah ku tahu kapan usainya dan di mana aku
akan menemukan tempat persinggahanku di kota kecil ini, aku melihat seorang
nenek berdiri di pinggir jalan. Aku merasakan bahwa nenek itu ingin menyebrang,
tapi tak punya nyali untuk berjalan. Melihat gemuruh suara kendaraan yang lalu
lalang saja ketakutan, apalagi menyebrang. Dan seketika itu, aku bergegas
menghampirinya meski tak ku kenal siapa nenek itu. Dengan sigap dan hati-hati
aku membantu nenek itu menyebrang jalan.
“Matur nuwun ya cah ayu, jenengmu sopo?”
“Maaf
nek, jenengmu itu siapa ya nek?”
tanyaku penasaran.
“Oalah,
maaf ya cantik. Panggil saya Simbah saja ya. Jeneng itu maksudnya nama kamu siapa?”
“Oh
nama thow nek. Eh Simbah maksudnya. Kenalkan nama saya Adinda Dwi Lestari, saya
dari Jakarta Mbah.”
“Nok
Dinda mau ke mana? Kalau tidak keberatan, ayo mapir ke rumah Simbah!”
Aku
hanya mengangguk, daripada aku berjalan sendirian tanpa tujuan yang jelas lebih
baik aku ikut simbah pulang. Mudah-mudahan Simbah mau menampungku sehari dua
hari di rumahnya.
***
Di
tengah perjalanan menuju rumah Simbah. Kita berdua saling bercakap-cakap.
“Nok Dinda, kamu punya kakak ya?”
“Nggak”
“Lhow
kok bisa, adinda itu kan artinya
adik. Nah, kalau dwi itu artinya anak
kedua.”
“Entahlah,
ibu saya tak pernah cerita kalau aku punya saudara mbah.”
Tak
terasa rumah simbah sudah di depan pelupuk mata. Awalnya aku heran dengan
bentuk rumah simbah yang ada di desa Langgar Dalem ini. Rumahnya hanya terdiri
dari satu pintu tanpa jendela dan selebihnya hanya tembok-tembok besar,
ditambah lagi tidak ada terasnya.
“Mari
masuk nok!”
Simbah
mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya. Dan alangkah terkejutnya aku saat
melihat bagian dalam rumah simbah. Ternyat pintu yang ku lewati tadi hanya sebuah
pagar pembatas dari kawasan sebuah istana tempat simbah tinggal. Aku membuntuti
Simbah menuju sebuah rumah yang
terlihat unik dan gagah. Dari pandang pertama aku sudah bisa memastikan kalau
rumah itu bukan sembarang rumah. Aku lihat atapnya menjulang tinggi seperti
gunung atau bisa diibaratkan rumah itu raja yang berwibawa sedang memakai
mahkota keagungannya.
“Simbah ini rumah siapa?” tanyaku takjub.
“Oalah, ini rumahnya Simbah thow nok.
Kalau orang sekitar sini nyebutnya omah
pencu, yang punya rumah seperti ini ya cuma orang Kudus.”
“Wow eksotis banget.”
“Mari masuk dulu.”
Tiba di teras rumah aku disambut oleh seorang gadis
cantik jelita yang berdiri di depan daun pintu. Subhanallah,
gadis itu seperti putri di kerajaan dongeng yang senantiasa memancarkan
keanggunannya dengan jilbab putih yang ia pakai.
“Assalamu’alaikum.”
Simbah mengucap salam.
“Wa’alaikum salam,
Simbah sampun
wangsul thow.” gadis itu menjawabnya.
“Ia nok. Kenalkan ini nok
Dinda dari Jakarta. Dia belum bisa guneman Jawa. Jadi menyesuaikan aja ya? kayak simbah.”
Gadis itu hanya menganggukkan kepala dan menyuggingkan
senyum kepadaku. Simbah masuk kedalam rumah meninggalkan kita berdua.
“Hai Dinda, salam kenal ya. Namaku Lailia Umami.”
“Oh iya mbak Lia, kamu sekolah di SMA 1 Kojan juga ya?”
“Iya kok kamu tahu sich?”
“Iya, tadi simbah yang cerita. Aku siswi baru di situ
mbak.”
“Oh begitu, kalau aku sekarang kelas XII Dinda. Tapi kita
masih bisa ketemu di sekolahan kok.”
“Tapi mbak, di Kudus aku belum dapat tempat kost.”
“Oh tenang, kamu tinggal saja di rumahku. Lagian di rumah
aku juga kesepian.”
“saya sich terserah mbak saja. Tapi simbah gimana?”
“Iya nanti biar saya yang ngomong sama abah, umi dann
simbah.”
Sikap mbak Lia yang hangat dan akrab membuatku tak bosan untuk berbincang
dengannya. Hingga umi dan abahnya pulang mbak Lia
menyambut mereka dengan mencium punggung tangan kedua orang tuanya. Dengan
senyum manisnya, ia memohon agar aku boleh tinggal di sini,
sebelum akhirnya umi dan abahnya benar-benar memperbolehkan aku tinggal di sini. Tapi sebelumnya umi berpesan padaku agar aku mulai
terbiasa memakai jilbab. Katanya agar terlihat lebih cantik atau bahasa gaulnya
inner beauty.
***
Jarum jam terus berputar. Hari berganti hari, minggu
berganti bulan. Tapi, kebahagiaan itu tak pernah sirna
selama aku berada di kota Kretek ini.
Mbak Lia selalu mengajakku jalan-jalan keliling kota Kudus setiap akhir pekan. Mbak Lia tak pernah absen untuk
mengajakku berpariwisata mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Pekan pertama dia
mengajakku ziarah ke makam Syekh Ja’far Shoddiq yang akrab disebut mbah Sunan
Kudus. Tampak sebuah menara klasik berdiri megah sebelum memasuki makam mbah Sunan Kudus. Sempat aku
mempertanyakan masalah bentuk menara Kudus dan gapuranya yang tidak lain seperti candi-candi
agama Hindu. Dan ternyata, ini merupakan siasat mbah Sunan Kudus
dalam menyiarkan agama Islam di kota santri ini. Kono katanya, penduduk di kawasan tersebut dulunya
beragama Hindu. Sehingga mbah Sunan Kudus memadukan antara budaya dan kepercayaan
setempat dengan misi dakwahnya. Sampai-sampai beliau melarang menyembelih
lembu.
***
Kalau bercerita tentang suasana di SMA 1 Kojan.
Teman-temanku cukup ramah. Tak seperti teman-temanku di Jakarta yang notabennya
dari kalangan elit dan cuek-cuek dengan kaum jelata yang tak se-level. Sebagai aktifis sekolah yang giat
mengikuti kegiataan ekstra di dalam maupun luar sekolah, aku cukup bangga
karena baru satu semester aku sekolah di sini, aku sudah ditunjuk untuk
mewakili sekolah di kompetisi RRG (Roger
Ranger Guide) alias Lomba Pemandu Wisata yang diadakaan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kudus dan bertempat di Gedung Ngasirah. Rumitnya, aku harus
memperkaya refrensi tentang kebudayaan dan pariwisata di kota Kudus. Dan yang jelas Simbah dan mbak Lia jadi tutor sekaligus narasumber dalam objek kajian
ini. Simbah memberikanku pengarahan untuk menceritakan tradisi dandangan.
Setiap menjelang bulan Puasa, kota Kudus memiliki tradisi yang
oleh warga setempat dinamakan dandangan. Lokasi dandangan berpusat di jalan Menara
Kudus membentang ke jalan-jalan di sekitarnya. Konon, tradisi dandangan ini awalnya
dilakukan untuk mendengar suara bedug di Masjid Menara Kudus yang konon
kabarnya dapat berbunyi sendiri (tanpa dipukul) saat menjelang Ramadhan. Asal-muasal nama Dandangan berasal dari
suara bedug tersebut.
Hari yang ku
tunggu kini telah tiba. Saatnya unjuk gigi, mengadu argumen dan kemampuan
menjadi guide sejati. Aku mendapat
giliran terakhir untuk mempresentasikan salah satu tradisi budaya dan pariwisata
yang ada di Kudus. Rasa tegang dan demam panggung membaur menjadi satu. Tapi
optimis untuk menjadi juaranya. Namun, ada satu peserta yang membuat semua
audience terpukau, termasuk diriku. Namanya Arfa Haqqil Azmi, dari SMA 3
Telingsing. Namun sejatinya dia adalah saingan terberatku dari kompetisi ini
dan setelah ini aku harus menunjukkan bahwa kali ini aku akan menjadi yang
terbaik.
Satu per satu
peserta telah menunjukkan kemampuannya, begitu pula aku. Dan saat yang
ditunggu-tunggu telah tiba. Waktunya pengumuman juara Rover Ranger of Kudus City. Dag dig dug jantungku berdebar
kencang. Aku terus berharap untuk menjadi juara. Namun ternyata dugaanku meleset. Bersyukur
tapi kecewa, cukuplah sudah aku menjadi runner up pertama. Dan juara pertama
diraih oleh Arfa Haqqil Azmi dari SMA 3 Telingsing, pesaing yang sebelumnya
memang aku segani.
Senja beriringan
dengan langit gelap kelabu. Rintik hujan menetes dan membasahi muka bumi.
Bersama dengan itu rasa bahagia, bangga, puas dan kecewa membaur menjadi satu
dalam lamunan panjang di depan gedung Ngasirah ini. Menunggu mbak lia
menjemputku yang tengah berbahagia. Tiba-tiba lamunanku di buyarkan oleh suara
klakson motor yang berbunyi kencang. Segerombolan pemuda berpakaian abu-abu melintas
di depanku dan salah
satu dari mereka adalah Arfa bersama teman-temannya. Tak lupa mereka
meneriakkan kata selamat untukku. Namun tidak dengan si Arfa yang enggan mengucapkan sepatah
kata untukku. Tapi, ini sungguh luar biasa. Sekejap namun berarti di hidupku.
Sebuah kehangatan yang tak pernah ku dapat sebelumnya. Arfa mempersembahkan
sebuah senyuman manis untukku seraya menganggukkan kepala. Ingatanku kembali
berlayar menuju pulau khayalan yang tak pernah ku tahu sebelumnya. Diiringi
simfoni hujan yang lembut dan menghanyutkan suasana berbunga-bunga di hati.
Rasanya aku ingin melayang-layang dan menari di atas awan, lalu merluncur dari
ujung pelangi senja. Dan apakah ini yang dinamakan sentuhan cinta?
“Dinda”
Suara
itu menghancurkan imajinasiku. Ternyata itu mbak lia yang dating menjemputku.
“ech
mbak Lia, kirain siapa. Ayo mbak kita pulang.”
“ayo,
ngomong-ngomong gimana tadi lombanya?”
“Alhamdulillah
mbak dapat juara dua.”
“Syukurlah,
perjuanganmu tidak sia-sia selama ini. Show your talent Dinda. Jangan berhenti
memperkaya nok.”
“Oke
mbak, siiip.”
Aku pulang ke rumah dan mengakhiri hari ini dengan penuh
rasa capek.
Di
pagi buta ini, ku rajut sebuah puisi
Kisah
terakhirku di bumi kretek
Dalam
rindu yang merajai hati
Tak
henti diriku mengagumi
Kerlingan
mata di musim senja ini
Wahai
kau ksatria sejati
Detik
itu tak ingin ku akhiri
Semoga
kita bertemu kembali
Pagi ini, aku pergi ke Jakarta untuk
menengok ibu. Aku kangen sama ibu. Aku naik bus jurusan Kudus-Jakarta.
Sesampainya aku di kota metropolitan itu, aku bergegas meluncur ke daerah kampung
rambutan, tempat ibuku tinggal. Memasuki rumah dengan lantunan salam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam.” Nampak tak hanya satu orang yang menjawab salamku.
Bergegas aku memasuki ruang tamu. Nampak seorang pria
separuh baya dan laki-laki seusiaku yang sudah tidak asing bagiku. Ya, dia itu
Arfa. Kenapa dia ada di rumah ibu? Mungkinkah puisiku telah terbaca olehnya.
Tapi mustahil, puisiku kan ada di buku harianku. Mana mungkin melayang terbang
sendiri menghampiri Arfa.
“Wach
kebetulan kamu pulang nak. Kenalkan ini Pak De Ahmad dan di sampingnya itu
kakak kandung kamu. Namanya Arfa.”
“Kakak
kandung? Memangnya aku punya saudara? Kenapa ibu tak pernah bilang?”
Ibu hanya menganggukkan kepala. Rasanya hatiku seperti
ditusuk-tusuk. Kaget, cemas, terkejut dan panik membaur jadi satu dalam
pikiranku. Kenapa hasrat cintaku padamu kini harus bermetafora menjadi rasa
kasih antara Adinda dan Kakanda. Padahal aku telah menyimpan perasaan yang amat
dalam di lubuk hatiku, bukan hanya sekedar seorang saudara. Haruskah aku
relakan rasa ini terbuang sia-sia. Beribu pertanyaan untuk dunia ini. Dari
sekian juta umat manusia yang ada, mengapa harus engkau yang ku cinta? Dan
mengapa harus engkau pula Kakanda yang dinanti Adinda.